Pages

Jumat, Mei 20

Ada Bias Cinta Pada Bola Mata Ibu

Aku adalah anak malang yang tak pernah diinginkan ibu. Ibu selalu membenciku disaat ibu ibu yang lain sangat menyayangi dan mencintai anaknya. Bahkan perseteruanku dengan ibu sudah dimulai sejak aku masih dalam gerha ibu. Bagaimana ibu tega ingin menghabisi nyawaku. Dengan segala macam cara ibu pernah lakukan untuk membunuhku. Mulai dari ramuan-ramuan tradisional hingga obat-obatan berbahaya pernah ibu masukkan ke dalam perutnya. Tapi Tuhan berkehendak lain, aku begitu kuat bercokol dalam perutnya. Apa salahku? Sehingga ibu begitu benci padaku. Bukankah dia yang salah, kenapa mau melakukan perbuatan yang membuat aku ada dalam perutnya.

Racun demi racun ditumpahkan padaku, membuat nafasku hampir saja berhenti, tapi malaikat-malaikat itu menjagaku dengan baik, sehingga aku masih bisa bertahan dalam perutnya. Racun-racun itu telah membuatku merasa panas jika mengenai jantungku, membuat aku merasa pedih jika mengenai mataku, hampir saja tubuhku meleleh tak berbentuk lagi, hingga aku memberontak dari perut ibu karena aku sudah tidak tahan lagi dengan siksaannya, akupun keluar dari perut ibu dengan tangisanku yang sangat keras, mukaku aneh, hidungku ringsek, kakiku kecil sebelah. Ibu tak memberi nama padaku, hanya seorang nenek tua yang memberiku nama Kuat, mungkin dia berharap aku jadi laki-laki yang kuat. Dengan diriku yang tak sempurna membuat ibu semakin marah. Ibu membesarkan aku dengan kebencian dan amarah yang meledak-ledak bagai nyalak petir yang tak kunjung reda. Tak ada kasih sayang sedikitpun untuk aku.

***

Hari-hariku kulalui tanpa kasih sayang dari ibu, aku kesepian dan kedinginan tanpa seorang teman, semua orang jijik melihatku. Kala gelap turun lebih cepat dan matahari tampak letih dan hendak beradu di ufuk barat, angin yang lembut menerpa dedaunan, terkadang mereka bergumul dan mengempas dedaunan pada pohon-pohon hingga segala yang terlewati menjadi kebas. Dan aku sering berlari ke belakang rumah, aku berbicara sama apapun yang aku temui di sana, sama pohon-pohon sama bintang-bintang di langit, karena cuma mereka yang setia menemani aku. Ingin rasanya aku terbang ke langit temui bintang-bintang itu, tapi itu hanya mimpi saja karena aku tidak memiliki sayap.

Malam itu ibu pulang sangat larut, aku mengendap-endap mengintip ibu, kulihat ada memar di pipi ibu. Ingin sekali aku mengobati luka ibu, atau sekedar membawakan air hangat untuknya, entah apa yang dilakukan ibu diluar sana. Aku coba berjalan dekati ibu. Tapi baru saja aku ingin mengobati luka ibu, dia sudah berteriak

“jangan sentuh aku! Anak sialan! Hardik ibu padaku.

“ini semua gara-gara kamu! Amarah ibu semakin jadi, kemudian ibu tampar pipiku, plak!

Sangat keras sekali. Rasanya sangat panas, tapi tak sedikitpun air mata keluar basahi pipiku. Mungkin air mataku sudah kering bagai musim kemarau dibulan juli. Atau air mataku sudah hilang sejak aku merintih dalam perutnya saat dia ingin menghabisi nyawaku.

Tahukan engkau ibu, kalau aku sangat merindukan ibu. Saat kulihat induk kucing yang sedang menyusui anak-anaknya, aku semakin iri sama mereka, betapa sayangnya induk kucing itu pada anak-anaknya.

“kau sangat beruntung sekali, ibumu begitu sayang padamu”ucapku suatu hari pada seekor anak kucing itu.

“Kalau aku jadi kamu, sudah aku habisi perempuan itu” sahut anak kucing

“Tapi dia ibuku” kataku

“Perempuan itu telah jahat padamu, bahkan sejak kamu masih dalam perutnya”

“Tidak! aku tak akan bunuh ibuku, aku rela lakukan apa saja agar dia bisa mencintai aku”

“tapi sampai kapan kamu akan bisa bertahan”

“entahlah” jawabku

Ibu, betapa aku rindu tangan ibu di atas dahiku,kemudian tangan ibu bergerak pelan-pelan mengelusku sampai aku tertidur seperti anak kucing itu. Rinduku sudah merasuk ke dalam sukmaku, menerobos aliran darahku, hingga membuatku sulit bernafas. Setiap hari aku tahan rinduku ini untuk ibu. Tapi tak sedikitpun ibu merasakannya. Ingin aku menangis dan mengadu padamu saat anak-anak itu mengejek aku, ingin rasanya aku menampar mereka seperti yang ibu sering lakukan padaku disaat ibu marah. Tapi aku tak pernah melakukannya. Ibu memperlakukanku seperti binatang yang terbuang.

Malam itu seperti biasa ibu pergi, aku penasaran dengan semua yang ibu lakukan diluar sana, ingin sekali aku mencegah ibu pergi, tapi tentu saja ibu tak kan pernah hiraukan ucapanku. Aku begitu gelisah menunggu ibu pulang, hingga ada seorang yang mengantar ibu. Rupanya ibu baru mendapat musibah. Tubuh ibu lunglai bagai tak bertulang. Kini tubuh ibu tak bisa bergerak, ibu lumpuh. Apa ini sebuah hukuman dari Tuhan untuk ibu? Atau hanya kebetulan saja? Tapi yang jelas sekarang ibu tidak bisa lagi menampar pipiku atau mencaci maki aku dengan ucapannya yang seperti badai itu. Alangkah jahatnya ibu jika aku ingat semua itu.

***

Setelah ibu lumpuh, tak banyak yang bisa ibu kerjakan selain hanya berbaring. Aku berusaha merawat ibu dengan segala kemampuanku. Tak ada dendam di hatiku ibu, aku ikhlas merawat ibu. Semua perlakuan ibu sudah aku maafkan. Kini ibu tidak bisa bekerja, aku berusaha mencari sesuap nasi demi ibu. Aku berjalan tertatih-tatih karena kakiku yang pincang ini, kususuri tiap gang untuk memungut sampah-sampah itu. Semua aku lakukan demi ibu. Aku tak pernah takut semua orang menghinaku, aku juga tidak takut semua orang mengusir aku, cuma satu yang aku takutkan yaitu ibu tak akan pernah mencintai . Aku tak bisa mendapatkan surga dari ibu.

Mungkin malam ini aku hanya bisa membeli sebungkus nasi untuk ibu saja. Dan seperti biasa aku tidak akan makan demi ibu. Saat kusuapi ibu hanya diam, masih kulihat kebencian di mata ibu, meskipun tak sepatah kata terucap dari bibir ibu. Walau akhirnya ibu mau juga menghabiskan nasi itu. Hatiku kian pilu, kenapa ibu tak bisa mencintai aku. Ibu, tahukan ibu diluar sana kala rintik-rintik air mulai turun aku seret kakiku, aku kedinginan ibu, aku juga kelaparan, dan mereka semua mengejekku. Tahukah ibu, diluar sana setiap hari yang kutuju adalah gunungan sampah, tahukah ibu diluar sana aku dipukuli orang semua demi ibu. Kuceritakan ini semua agar ibu terbuka hatinya. Aku keluarkan bungkusan yang aku siapakan untuk ibu. Aku dekati ibu, seperti biasa kulihat sorot mata ibu yang membenciku.

“Ibu, kulihat baju ibu sudah usang dan compang camping, aku ada sedikit uang, dan ini adalah tabunganku selam ini” ucapku sambil membuka bungkusan plastik warna hitam yang aku pegang. Aku pakaikan baju yang aku beli dari pasar tadi siang, meskipun cuma baju murahan . Ibu terlihat bersih saat ini. Tiba-tiba saja tanganku basah oleh sesuatu. Dan saat kulihat ibu ternyata ada buliran-buliran air mata disana. Yah, ada bias cinta pada bola mata ibu. Aku baru sekali ini melihat ibu menangis, bias cinta mata ibu begitu meneduhkan. Tak kulihat lagi kebencian di mata ibu. Aku bagaikan menemukan oase di tengah gurun yang tandus. Rinduku telah tersirami saat buliran-buliran air mata ibu mengenai tanganku. Kuusap lembut pipi ibu yang basah. Aku sayang ibu, aku rindu saat-saat seperti ini sudah lama ibu, Kemudian aku peluk ibu.

0 comment: